Para penjual jamu adalah orang-orang yang ternyata banyak dilecehkan. Para pembeli biasanya menggoda dengan panggilan nama yang merendahkan, memegang tangan, mencium pipi dan bahkan mencolek anggota tubuh sensitif lainnya
*Meera Malik- www.Konde
Konde.co- Sebagai perempuan penyuka jamu, saya selalu meminum jamu seminggu 2 kali. Biasanya saya membeli jamu gendong yang dibawa keliling oleh langganan saya di Medan. Saya suka minum kunyit asem dan beras kencur, sesekali minum jamu pahit.
Saat itulah saya sering bertemu Wagiyem dan Suparti, 2 penjual jamu langganan. Jika Wagiyem berjualan pagi, Suparti memilih berjualan sore hari.
Keduanya pindah dari Jawa ke Medan dan berjualan jamu untuk menghidupi keluarga dan mengejar mimpi yang mengikat hati mereka.
Namun saya tidak menyangka jika 2 perempuan penjual jamu langganan ini ternyata sering mendapatkan pelecehan seksual ketika berjualan. Ini betul-betul menyedihkan.
Dan ternyata bagi penjual jamu seperti Wagiyem dan Suparti, pelecehan seksual seolah menjadi makanan sehari-hari.
Saat berjualan, mereka kerap mendapat pelecehan dari para pembeli. Para pembeli itu adalah manusia yang berjenis kelamin laki-laki dari jenjang umur tua hingga muda, dan yang berstatus pekerja hingga mahasiswa.
Perilakunya seperti menggoda dengan panggilan nama yang merendahkan, memegang tangan, mencium pipi dan bahkan mencolek anggota tubuh sensitif lainnya.
“Pernah dulu jualan gendong, dipanggil mbak.. jamu..! Udah kita turunin gendongan kita, dia cium, terus langsung pergi. Aku waktu itu masih muda, bingung, kaget, ya terdiam. Itu di pinggir jalan besar lho berani dia,” ungkap Wagiyem dengan nada meninggi.
Tak jauh berbeda dengan Wagiyem, Suparti pun pernah merasakan pengalaman yang sama. Ia bahkan sempat trauma. Salah satu pengalaman terburuknya terjadi saat ia menjajakan jamu di depan sebuah hotel melati. Saat itu, Suparti diminta naik untuk mengantarkan jamu ke kamar lantai atas. Ketika Suparti memberikan jamunya, sang pembeli menunjukkan alat kelaminnya.
“Jamu langsung kubuang. Cepat-cepat aku lari keluar minta pertolongan orang,” ucap Suparti sembari mengusap-usap punggung tangannya yang gelisah.
Pengalaman lain adalah ada laki-laki yang memegang tangan ketika memegang gelas jamu, ada juga laki-laki yang mencolek tubuh sambil berlari.
Menurut pengakuan Wagiyem dan Suparti, hal seperti ini cenderung dipandang biasa oleh masyarakat. Ini karena label negatif yang terlanjur melekat pada perempuan penjual jamu. Dari amatan mereka, kejadian ini salah satunya disebabkan oleh film, sinetron, iklan, dan media massa yang sering menampilkan citra perempuan penjual jamu sebagai perempuan penggoda. Dari sinilah masyarakat kemudian melihat bahwa penjual jamu adalah perempuan yang suka menggoda laki-laki pembeli.
Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Laki-laki pembelilah yang selalu menggoda penjual jamu.
Hal lain, ada yang menganggap bahwa perempuan penjual jamu adalah penjual obat yang bisa memberikan kekuatan bagi laki-laki, maka seolah-olah mereka menjadi orang yang layak untuk digoda karena bisa memperkuat stamina laki-laki.
Dari sini kita bisa melihat adanya stigma yang dilekatkan pada penjual jamu, selain itu juga ada stigma soal kelas. Karena penjual jamu sangat tergantung pada pembeli, maka laki-laki pembeli merasa berhak menggoda penjual jamu. Posisi kelas ini yang semakin membuat perempuan penjual jamu tersudut. Melayani pembeli dengan baikpun mereka digoda.
Di satu sisi, penjual jamu seperti ini tidak mempunyai wilayah jualan yang cukup luas, biasanya mereka berjualan di sekitar perumahan, kampung yang berada di area yang saling berdekatan. Apalagi jika jualan jamunya berjalan kaki, mereka tak bisa mengakses wilayah jualan yang lebih besar.
Ini kemudian membuat penjual jamu mempunyai ketergantungan yang besar dengan konsumen.
Digoda, dilecehkan, tentu ini sangat mengganggu aktivitas Wagiyem, Suparti dan perempuan penjual jamu lainnya. Bahkan mereka kadang trauma melihat perlakuan ini. Hak mereka untuk bekerja dengan aman dan nyaman tidak terpenuhi. Mereka menyesalkan kondisi tersebut namun merasa tidak bisa berbuat apa-apa.
Selama ini Wagiyem dan Suparti memutuskan berpindah dari Jawa ke Medan karena persoalan ekonomi. Maka keputusan untuk merantau dan menjual jamu ini seharusnya dipahami sebagai makna ekonomi untuk menyelamatkan keluarga.
Sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Leylia Khairani menjelaskan kondisi ini. Berdasar hasil kajian, ia menemukan pola dan motif migrasi orang Jawa ke Sumatera telah terjadi sejak era kolonial. Seperti para kuli kontrak, mereka ditipu, diberdayakan, dan diiming-imingi agar mau pindah ke Tanah Deli. Dorongannya hampir pasti karena kebutuhan ekonomi.
“Mereka sudah merasa ini rumah bagi mereka dan orang-orang lainnya, etnis lainnya menjadikan orang Jawa sebagai pelengkap bagi keberadaan etnis yang ada di sekitarnya,” jawab Leylia singkat.
Ketergantungan pada ekonomi ini yang kemudian membuat penjual jamu harus bekerja dalam kondisi tak nyaman. Dengan berbagai pengalaman pahit yang mereka terima, Wagiyem dan Suparti justru merasa hatinya tertambat di Medan. Mereka adalah bagian dari 30% warga bersuku Jawa yang menghuni kota Medan dengan total jumlah penduduk 2,2 juta jiwa. Mereka pun sudah membangun sebuah keluarga.
Harusnya kesadaran untuk stop melecehkan ini ditumbuhkan diantara para konsumen. Mengubah stigma, menghormati perempuan, menghormati penjual yang sedang bekerja, memutus rantai kekuasaan dalam relasi penjual dan pembeli adalah salah satu hal yang harus ditumbuhkan. Mereka tak boleh mengobyektifikasi perempuan, kesadaran ini harus ditumbuhkan di wilayah tempat tinggal mereka agar membuat orang lain nyaman dalam bekerja (bersambung)
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Meera Malik, jurnalis bahagia yang gemar membeli buku tapi lupa membaca
from konde https://ift.tt/2Sh71h6 Wanita Sehat
No comments:
Post a Comment