Mewujudkan kesetaraan gender di media masih menjadi problem di seluruh dunia. Adanya dominasi laki-laki dan diskriminasi yang diterima perempuan pekerja media masih dialami hingga hari ini.
*Meera Malik- www.Konde.co
Konde.co- Medio 2015, Ina dinyatakan lolos serangkaian tes masuk sebagai jurnalis di sebuah media televisi swasta nasional di Jakarta.
Bersama dua orang teman laki-laki yang juga diterima bekerja di media tersebut, mereka bergabung menjadi satu tim. Tim tersebut terdiri dari 2 orang reporter (termasuk Ina) dan seorang kameramen. Mereka berupaya untuk mengerjakan setiap tugas yang diberikan perusahaan dengan baik sesuai kapasitas masing-masing.
Namun, hingga 6 bulan bekerja, Ina kemudian menemukan fakta bahwa di dalam tim tersebut, hanya ia yang menerima upah lebih sedikit dibandingkan dua orang teman lelakinya.
Penyebabnya, karena ia adalah seorang perempuan, belum menikah, sehingga dianggap cuma membiayai dirinya sendiri. Padahal, dalam sehari-hari Ina harus membiayai ibu dan adiknya.
Ina tidak sendirian. Dalam dunia jurnalistik, ketidakadilan dan ketidaksetaraan nyata terjadi dan menimpa perempuan.
Menurut laporan The International Women’s Media Foundation (The IWMF) dalam laporan Global Report on the Status of Women in the News Media yang dirilis pada tahun 2011, dari 522 perusahaan pers yang mereka teliti di seluruh dunia, jurnalis perempuan yang bekerja penuh waktu hanya 33,3 persen karena perempuan tak hanya bekerja di kantor, tetapi juga mengerjakan pekerjaan rumah.
Laporan yang sama menyebutkan, posisi sebagai news gathering, reporter dan penulis (editor), juga masih didominasi laki-laki sebesar 64 persen. Sementara perempuan hanya mencapai 36 persen.
Sedangkan di Indonesia, kesenjangan tersebut masih ditambah dengan perbedaan fasilitas yang diterima. terutama dalam fasilitas kesehatan. Perempuan pekerja media seringkali dianggap berstatus lajang, sehingga meski memiliki anak, ia tak berhak untuk mendapatkan asuransi untuk anak-anaknya.
Hal ini diamini Endah Lismartini, Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia). Ia menyoroti minimnya fasilitas bagi perempuan pekerja di media, salah satunya ruang menyusui.
Saat ini, banyak pekerja media yang terpaksa harus menyusui di tempat yang tidak layak dan kesempatan pengasuhan bagi laki-laki menemani istri melahirkan juga sangat terbatas.
“Media adalah salah satu pilar demokrasi, kalau kesadaran gender dalam media bagus, maka berita yang akan dihasilkan tentu lebih bagus dan sensitif gender,” ujarnya dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Sekolah Jurnalisme AJI memperingati International Women’s Day 2020 pada Minggu (8/3/2020).
Namun, Endah juga mengungkapkan pencapaian lain yang perlu diapresiasi. Menurutnya, kondisi di media saat ini terdapat kemajuan, setidaknya 12 perempuan menjadi pemimpin redaksi media arus utama di Jakarta. Hanya saja kesetaraan gender di media masih perlu terus didorong. Karena pada level yang lebih rendah tidak ada kepastian jenjang karir bagi perempuan.
“Terutama bagi perempuan yang telah menikah dan memiliki anak. Mereka akan ditempatkan pada kanal-kanal lebih soft, seperti lifestyle dan fashion, bukan pada kanal-kanal utama seperti politik,” sambungnya.
Dalam diskusi yang sama, Asep Setiawan, Anggota Dewan Pers mengatakan ketimpangan gender di media tidak hanya problem di Indonesia tetapi juga problem global.
“Berdasarkan data Who Make The News, hanya 26 persen subjek dan sumber berita di berita arus utama internet dan berita yang di-tweet adalah perempuan. Setiap 4 orang yang diwawancara, ditonton atau dikutip dalam berita di seluruh dunia hanya satu orang perempuan. Dalam 20 tahun terakhir, disparitas gender dalam berita hanya bergeser tujuh poin dalam temuan 1995-2005,” ujarnya.
Namun Asep menambahkan, Dewan Pers hingga hari ini belum memiliki aturan mendorong kesetaraan gender di media dari aspek organisasi (manajemen) dan pemberitaan.
"Ke depan perlu masukan,” kata Asep Setiawan.
Secara umum, kesetaraan gender masih perlu menjadi perhatian serius semua pihak. Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) 2020 menunjukkan skor kesenjangan gender global (berdasarkan jumlah penduduk) berada pada posisi 68,6 persen. Artinya, masih ada 31,4 persen kesenjangan yang menjadi pekerjaan rumah bersama masyarakat global. Sedangkan di Indonesia, menurut WEF berada pada peringkat 85 dalam urusan gender gap.
Indikator kesenjangan tersebut terdiri dari empat dimensi, yaitu kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, partisipasi ekonomi, dan pemberdayaan politik.
Secara umum, kesenjangan paling besar adalah pada kesempatan dan partisipasi ekonomi (58 persen) dan pemberdayaan politik (25 persen). Meski pada kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan angkanya sangat signifikan, yakni 97 persen dan 96 persen.
Sementara menurut data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pemberdayaan Gender dengan alat ukur menempatkan perempuan sebagai tenaga profesional di Indonesia pada tahun 2019 masih berada pada kisaran antara 35 persen hingga 55 persen. Angka terendah berada di provinsi Papua (35,7 persen). Sedangkan angka tertinggi berada di provinsi Sumatera Barat (55,4 persen). Sementara DKI Jakarta sebagai ibu kota provinsi, yang idealnya menjadi barometer pemberdayaan perempuan, hanya berada pada angka 47,3 persen.
Dalam diskusi tersebut, Munawir, Kepala Seksi Pencegahan Diskriminasi Syarat Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan pemerintah berencana membuat satuan tugas pencegahan diskriminasi di tempat kerja. Salah satunya mengenai regulasi untuk cuti ayah agar fokus mengurus keluarga pada awal mula kelahiran.
”Wacananya sudah ada tapi perlu menyamakan persepsi antara pengusaha dan pekerja. Pemerintah tidak bisa memutuskan sendiri,“ ujarnya.
Karena menurutnya, menciptakan kesetaraan termasuk melakukan stop kekerasan dan diskriminasi di dunia kerja perlu mendapat dukungan dan komitmen dari pengusaha dan pengambil kebijakan (pemerintah dan legislatif).
Sebenarnya ada 1 Konvensi ILO 190, namun sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum terlihat akan meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) 190 yang berisi tentang stop kekerasan, diskriminasi dan pelecehan di dunia kerja.
Sejak Juni 2019, Indonesia termasuk negara-negara lain di dunia yang menyepakati konvensi ini dalam konferensi ILO di Genewa, namun hingga hari ini pemerintah kita belum terlihat akan melakukan upaya untuk meratifikasinya.
Konvensi ILO 190 sangat penting untuk cepat diratifikasi karena Indonesia belum memiliki undang-undang nasional yang melindungi pekerja baik formal maupun informal dari kekerasan, diskriminasi dan pelecehan di dunia kerja.
Oleh karena itu perlu konvensi internasional yang mengatur perlindungan pekerja dari kekerasan dan pelecehan yang nantinya dapat menjadi acuan aturan hukum nasional.
Yang kedua, Indonesia telah terikat secara hukum dengan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan karena pemerintah Indonesia telah meratifikasinya melalui UU No. 7 Tahun 1984. Perlindungan pekerja perempuan dari berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja menjadi salah satu perhatian dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 19 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 1992.
Kita seharusnya sudah mulai meratifikasinya dan tidak justru mundur ke belakang.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Meera Malik, jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co sebagai managing editor. Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.
from KONDE https://ift.tt/3cWPqEz Wanita Sehat
No comments:
Post a Comment