April 14, 2020

Apa Saja Praktek Di Kampus untuk Menghentikan Kekerasan Seksual?

| April 14, 2020 |

Pelaku kekerasan dan pelecehan seksual di kampus cukup beragam. Bisa saja dosen, tokoh kampus, warga di lokasi tempat mahasiswi melakukan KKN. Beberapa kasus justru malah pelakunya merupakan teman satu kost-nya sendiri yang bukan mahasiswa kampus tersebut, mantan pacar atau kakak kelas. Apa saja yang sudah dilakukan para civitas akademika kampus dalam menghentikan kekerasan seksual disana? 

*Patricia Beata Kurnia- www.Konde.co

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia-Pasifik yang masih memiliki angka kekerasan terhadap perempuan yang sangat tinggi dan kuat.


Selain dikarenakan budaya patriarkis, dalam penelitian yang dilakukan oleh Anastassia Evlanova dari ValueChampion dengan  melihat dari aspek kesehatan (health-care), keamanan (safety) dan oportunitas, dapat dikatakan Indonesia berada di peringkat paling bawah bersama Filipina dan India. Ini mempengaruhi ketimpangan yang terjadi dan dialami oleh perempuan.

Dengan faktor tersebut, ditambah dengan  lambatnya reaksi dan tindakan negara dalam bertindak, berpengaruh pada fungsi negara yang seharusnya juga memberikan perlindungan, penanganan dan pemulihan kepada korban kekerasan, dalam hal ini negara tidak segera menerbitkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)

Ini juga berdampak pada universitas-universitas yang tidak memiliki peraturan yang melindungi sivitasnya dari kekerasan yang mereka alami di kampus.

Salah satu kasus kekerasan seksual yang terjadi pernah menimpa Agni, mahasiswi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), juga kasus kekerasan seksual di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswa Universitas Indonesia (UI) oleh sekelompok pemuda yang tidak dikenal, kasus pemerkosaan yang membuat pacarnya sampai hamil berkali-kali dan menggugurkan janinnya secara paksa, dan masih banyak lagi.

Tirto.id bersama dengan VICE Indonesia dan The Jakarta Post, melakukan penelitian terhadap kekerasan yang terjadi di universitas. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dalam bentuk formulir testimoni dimulai dari tanggal 13 Februari sampai dengan 28 Maret 2019.

Penelitian ini mendapatkan respons sekitar 207 respons dan terdapat 174 respon yang menyatakan soal kasus kekerasan yang terjadi di luar kampus tetapi terjadi dalam acara-acara resmi dari kampus, seperti kuliah kerja nyata (KKN), magang, atau acara kemahasiswaan.

Para penyintas yang menulis testimoni tersebut tersebar di 29 kota dan berasal dari 79 perguruan tinggi. Mayoritas atau sekitar 88% dari total penyintas tersebut berasal dari kampus-kampus di Pulau Jawa.

Siapa Saja Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus?

Pelaku kekerasan dan pelecehan seksual di kampus tersebut beragam. Banyak sekali pemikiran yang menjurus bahwa pelakunya adalah dosen atau sesama  mahasiswa atau staf pendidikan yang ada di kampus.

Padahal dalam kenyataannya, tidak selalu mereka, melainkan bisa saja tokoh kampus, warga di lokasi tempat melakukan KKN, hingga dokter di klinik kampus. Beberapa kasus justru malah pelakunya merupakan teman satu kost-nya sendiri yang bukan mahasiswa kampus tersebut, mantan pacar dari si mahasiswa tersebut, atau kakak kelas yang “memalak” secara seksual adik kelasnya sendiri dengan cara mengancam menyebarkan video mesum adik kelasnya.

Dalam penelitiannya, tirto.id mencatat bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan di dalam kampus yang paling sering dialami para penyintas adalah perlakuan pelecehan seksual. Sebanyak 129 penyintas menyatakan mereka pernah dilecehkan; 30 penyintas mengalami intimidasi bernuansa seksual; dan 13 penyintas menjadi korban pemerkosaan.

Apa yang Sudah Dilakukan di Kampus?

Universitas sebagai tempat pendidikan jenjang tinggi tersebut, harusnya dapat menyediakan peraturan atau satuan operasional (SOP) untuk “memecahkan” mata rantai atau paling tidak dapat menangani kasus tersebut dengan baik.


Universitas Indonesia merupakan universitas yang sudah memiliki buku saku tentang penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Buku saku ini diluncurkan oleh Lidwina Inge Nurtjahyo, dari Fakultas Hukum (FH) dengan Saraswati Putri, dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, dengan bekerja sama bersama Badan Eksekutif Mahasiswa/ BEM Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Budaya UI dan BEM UI.

Dengan buku saku ini diharapkan dapat membantu dalam penanganan kasus kekerasan di kampus, juga dapat membantu dalam pembentukan peraturan tingkat universitas untuk kekerasan di kampus serta pembentukan crisis center.


Selain buku saku SOP, sivitas akademika  yang lain di UI, contohnya para mahasiswa, membuat perkumpulan bernama HopeHelps UI. HopeHelps UI merupakan perkumpulan mahasiswa Universitas Indonesia yang menyediakan layanan tanggap kekerasan seksual bagi sivitas akademika Universitas Indonesia.

Para mahasiswa juga menggunakan platform media sosial seperti Twitter, sebagai bentuk untuk menunjukkan perlawanan mereka terhadap para pelaku.


Contohnya adalah thread dari seorang pengguna twitter, yang sangat kesal sehingga dia membantu para korban untuk berbicara dan mem-posting di akunnya, mengenai percakapan-percakapan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban atau cerita-cerita dari korban. Bentuk perlawanan ini juga dibawa ke dalam media-media sosial lainnya, seperti Instagram.

Selain di dunia maya, sempat beberapa perkumpulan mahasiswa seperti badan eksekutif mahasiswa (BEM), melakukan semacam pameran sebagai bentuk menanggapi kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Salah satu kegiatan yang lain adalah kegiatan sosialisasi tentang kekerasan seksual kepada para mahasiswa baru FISIP dalam acara pengenalan sistem akademik fakultas (PSAF) FISIP UI angkatan 2019 kemarin.

Selain UI, Universitas Gadjah Mada (UGM) pun juga sudah mulai melakukan perlawanan. Sri Wiyanti Eddyono, seorang dosen hukum gender di UGM, yang merupakan tokoh penting di balik draft peraturan kekerasan seksual yang akan diterbitkan kampusnya, menawarkan opsi lain yakni, penggunaan efektif klinik kesehatan di setiap fakultas yang dapat diarahkan untuk menjadi pusat pengaduan dan pendampingan korban kekerasan seksual.

Menurutnya, dikutip dari theconversation.com, mekanisme ini bisa menjadi efektif mengingat saat ini kampusnya sedang membangun konsep kampus sadar kesehatan (health-promoting university), termasuk lingkungan sehat yang aman dari kekerasan seksual.

Bentuk perlawanan dalam melawan kekerasan di dalam kampus ternyata bisa dilakukan lewat bermacam-macam cara. Ini juga dapat disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing individu atau kelompok.

Tapi, tetap harus diingat bahwa tujuan perlawanan ini selain untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan di dalam kampus, juga untuk menghentikan bentuk penyebaran “fakta“ menyesatkan atau isu-isu yang bersifat hoax dasarnya mengenai kekerasan terhadap perempuan, dan juga untuk menaikkan tingkat kesadaran serta mengubah perspektif publik tentang kekerasan terhadap perempuan, baik secara umumnya, maupun secara khusus di kampus.

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sivitas akademika ini juga memberikan kita kesempatan untuk berefleksi kembali, apakah universitas memang berniat untuk membuat sebuah peraturan dan membangun sebuah unit khusus crisis center yang dapat melindungi korban kekerasan yang merupakan sivitas akademikanya? Mau menangani serta memberi sanksi kepada pelaku? Bisa jadi ini merupakan sebuah upaya kecil yang baru bisa dilakukan saat ini.

Referensi:
https://ift.tt/2Vnw2c5 diakses pada Jumat, 3 April 2020, pukul 11.22 WIB.

https://ift.tt/2K5ESFS diakses pada Jumat, 3 April 2020, pukul 12.25 WIB.

https://ift.tt/2y8lVQm diakses pada Jumat, 3 April 2020, pukul 11.27 WIB.

https://ift.tt/3b4s0Mo diakses pada Sabtu, 4 April 2020, pukul 11.28 WIB.

https://ift.tt/3ccGWYQ diakses pada Sabtu, 4 April 2020, pukul 11.30 WIB

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay, ValueChampion, twitter)

*Patricia Beata Kurnia, undergraduate student Antropologi, Universitas Indonesia, Jakarta

from KONDE https://ift.tt/2K0nrXg Wanita Sehat

No comments:

Post a Comment

Back to Top