Ghozian Aulia Pradhana, Universitas Diponegoro
Di tengah perjuangan pekerja medis dan derita pasien menghadapi COVID-19, sebagian masyarakat menolak kehadiran mereka. Di Banyumas, dan Semarang, Jawa Tengah, serta Gowa, Sulawesi Selatan, beberapa warga bahkan menolak pemakaman korban wabah di wilayah mereka.
Banjir informasi di media mengenai wabah COVID-19 memiliki andil membentuk persepsi masyarakat terhadap mereka yang bersentuhan dengan wabah.
Pada saat yang sama media bisa berperan besar mencegah proses pemberian stigma dengan menyampaikan informasi yang mendorong masyarakat berempati di tengah pandemi.
Baca juga:
Analisis: pentingnya literasi digital yang kritis di tengah gempuran misinformasi pandemi
Terbentuknya stigma
Studi menjelaskan pemberitaan mengenai COVID-19 lebih kuat ketimbang Ebola di tahun 2018. Media berbondong-bondong memberitakan wabah.
Semakin intensnya pemberitaan membuat masyarakat memantau perkembangan terkait COVID-19 melalui berbagai media seperti televisi dan media online.
Hasil riset Nielsen Television Audience Measurement (TAM) di 11 kota di Indonesia, misalnya, menunjukkan rata-rata kepemirsaan TV meningkat dari rata-rata rating 12% di 11 Maret menjadi 13,8% di tanggal 18 Maret atau setara dengan penambahan sekitar 1 juta pemirsa TV.
Riset yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mencatat adanya peningkatan 15-20% traffic internet di masa pandemi COVID-19.
Sayangnya, media tidak luput dari informasi menyesatkan juga meresahkan.
Beredarnya berita salah atau bohong di awal-awal pandemi berlangsung, seperti soal iklim tropis, konsumsi jamu, hingga kelakar soal nasi kucing, membuat masyarakat abai pada masa awal wabah di Indonesia.
Ketika wabah ini semakin menyebar dan memakan korban, masyarakat tampak terkejut, tidak siap, lalu melakukan langkah-langkah pencegahan dengan sembrono.
Misalnya, setelah pemerintah mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret, sebagian masyarakat berbondong-bondong membeli dan menimbun barang (panic buying).
Masyarakat juga terdorong membuat hand sanitizer sendiri yang tidak jarang tidak sesuai saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, masyarakat juga memberi cap negatif pada korban COVID-19 dan pekerja medis, menyisihkan mereka secara sosial - seperti yang terjadi di Banyumas, Semarang, dan Gowa.
Pemberian stigma ini didorong oleh kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan diakibatkan rendahnya pemahaman dan sikap kritis terhadap informasi yang diterima lewat media, media sosial, dan juga intimidasi para provokator.
Peran media
Dalam situasi pandemi, media wajib melakukan kontrol secara ketat pemberitaan yang akan dipublikasi.
Para pekerja media perlu mengikuti kode etik jurnalistik untuk memutuskan mana yang perlu dan pantas diungkap ke publik terkait wabah.
Misalnya, media tidak mempublikasikan identitas tanpa seizin dan sepertujuan pasien untuk melindungi privasi mereka.
Pemberitaan yang mengungkap data angka kasus dan jumlah kematian yang mencemaskan dapat diimbangi dengan mengangkat kisah kerja keras tenaga medis dan perjuangan pasien melawan COVID-19. Hal ini dapat meningkatkan empati masyarakat.
Media juga bisa mengedukasi publik dengan menjelaskan prosedur pemakaman korban wabah, sehingga masyarakat alih-alih takut dan sinis, masyarakat menjadi berdaya ketika misalnya terdapat korban yang akan dimakamkan di wilayah mereka.
Komunikasi krisis pemerintah selama pandemi ini masih buruk. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) mencatat sedikitnya 37 pernyataan salah pemerintah terkait COVID-19.
Media dalam hal ini perlu menjalankan fungsi kontrol sosial dengan mengkritik, memilah dan memberi informasi yang jelas pada pemirsa. Informasi pemerintah yang ada berbeda-beda dan tumpang tindih membuat masyarakat tidak memiliki rujukan pasti menghadapi wabah.
Baca juga:
Melawan persebaran disinformasi di Indonesia
Membangun pemikiran kritis
Banyak media di Indonesia yang sebenarnya telah melakukan pemberitaan berimbang dan edukasi masyarakat. Harian Tempo, misalnya, menurunkan beberapa liputan soal tenaga medis yang bertaruh nyawa menangani pasien wabah; atau Kompas yang menulis soal prosedur pemakaman jenazah pasien wabah.
Namun, masyarakat masih perlu didorong untuk meningkatkan literasi dan berpikir kritis agar mampu mengolah informasi. Pendidikan literasi media kritis bisa dimulai pada sekolah dasar dan kemampuan literasi bisa digunakan anak jauh sesudah pelajaran usai.
Beberapa komunitas di masyarakat telah berinisiatif melakukan kampanye-kampanye kreatif bertema “stop stigmatisasi”. Salah satunya dilakukan oleh Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI).
Media seharusnya menyajikan lebih banyak konten bermuatan edukasi dan mendorong masyarakat terlibat langsung. Melalui media sosial, media juga dapat berinteraksi sembari mengedukasi masyarakat terkait pandemi.
Selain memanfaatkan media sosial untuk penyebaran pesan dan respons singkat seperti retweet, like, love, share, hingga emoji, interaksi dua arah dapat dimaksimalkan melalui fitur live di Facebook atau Instagram.
Media online Kumparan misalnya, kerap memberikan informasi interaktif dan edukatif terkait COVID-19 bersama narasumber live di media sosial. Tentu ini membuka sebagai kesempatan engagement sekaligus ruang diskusi bagi pemirsa/followers.
Berada di antara pemerintah dan publik, media sebagai medium informasi bagi masyarakat berperan dalam pembentukan persepsi dan keputusan publik.
Media memiliki andil dalam menyampaikan informasi dan mendorong masyarakat berempati di tengah pandemi.
Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.
Ghozian Aulia Pradhana, Ph.D. Student in Media and Communication Studies, University of Malaya, Junior Lecturer, Universitas Diponegoro
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
from KONDE https://ift.tt/3aCDCoV Wanita Sehat
No comments:
Post a Comment