April 08, 2020

Diskriminasi Perempuan di Dunia Olahraga, Kasus Hiperandrogenisme dan Determinisme Biologis

| April 08, 2020 |

Sejumlah atlet perempuan mempunyai kadar testosteron yang tinggi seperti layaknya laki-laki. Mereka tidak pernah tahu mengapa kadar testosteron yang tinggi ini ada dalam tubuh mereka. Ketika ada pelarangan bagi para atlet perempuan untuk tidak boleh mengikuti pertandingan hanya karena kadar testosteran yang tinggi, sejumlah atlet perempuan menggugat ini: apakah ini bukan merupakan tindakan diskriminatif bagi para atlet perempuan? 

*Adela Dinda - www.Konde.co

Di tahun 2017, sebuah rumor dalam komunitas olahraga beredar. Rumor tersebut menyebutkan tentang atlet perempuan dengan kadar testosteron yang tinggi dalam tubuh mereka, kemungkinan akan dilarang berkompetisi dalam perlombaan di masa depan.

Atlet yang mempunyai kader testosteron yang tinggi dianggap punya "keberuntungan” karena selalu lebih kuat dbandingkan atlet perempuan lain.

Testosteron adalah hormon seksual pada laki-laki yang dihasilkan oleh testis secara alami. Hormon ini memiliki beberapa fungsi dalam tubuh laki-laki, seperti: mendorong pertumbuhan rambut pada muka dan tubuh, membuat suara makin berat, produksi sel darah merah, dll

Pada tahun 2018, larangan ini menjadi kenyataan. Seorang pelari perempuan asal Afrika, Caster Semenya adalah satu dari banyak atlet yang terkena aturan yang ditetapkan oleh IAAF (International Associations of Athletics Federations atau Asosiasi Internasional Federasi Atletik, yaitu badan pengelola internasional olahraga atletik.

Semenya, serta banyak atlet lainnya oleh IAAF, dinilai memiliki kondisi medis yang dikenal sebagai Hyperandrogenism di mana ia memiliki peningkatan kadar hormon "laki-laki" yang diproduksi di tubuhnya, seperti hormon pembentuk otot, testosteron.

IAAF lalu mengklasifikasikan orang-orang seperti Caster Semenya sebagai Athletes with Differences of Sexual Development atau atlet dengan perkembangan seksual yang berbeda (DSDs).


Sebelumnya pada tahun 2011, IAAF telah memperkenalkan aturan yang sama di mana atlet yang bersaing dalam kategori perempuan dengan aturan tersebut sempat dipertanyakan oleh CAS (Court of Arbitration for Sports) atau Pengadilan Arbitrase untuk Olahraga. Pada tahun 2015, seorang sprinter dari India dengan kondisi tersebut melakukan banding ke pengadlan. Dutee Chand dan IAAF kemudian diberikan waktu dua tahun untuk merespon kasus ini.

Dengan demikian, sebuah studi yang didanai oleh IAAF dan Badan Anti-Doping Dunia diterbitkan dalam British Journal of Sports Medicine, mengatakan bahwa perempuan dengan tingkat testosteron yang tinggi memiliki keunggulan dibandingkan atlet perempuan yang tidak memilikinya.

Berdasarkan hal tersebut, maka atlet yang memiliki kondisi tersebut harus melakukan perawatan penurunan kadar testosterone jika mereka berkompetisi dalam trek sepanjang 400 meter atau lebih. Walau demikian, sebenarnya banyak pula penelitian lainnya yang berkata sebaliknya dan menjadikan kasus ini cukup kontroversial.

Kini sudah hampir setahun dari penutupan kasus pengadilan yang gagal dari Caster Semenya yang menuntut IAAF di pengadilan atas tuduhan diskriminasi karena peraturan regulasi hormon tersebut.


Dalam kasus pengadilan tersebut, Semenya dan pengacaranya telah menentang kebijakan baru, di mana berakhir dengan pengadilan yang memutuskan aturan diskriminasi ini. Presiden IAAF telah mengatakan bahwa mereka membatasi kategori olahraga hanya kepada kompetisi perempuan dan laki-laki, sehingga perlu dibuatkan kriteria pasti yang perlu diikuti oleh para atlet. Regulasi dan penurunan testosterone atlet perempuan agar “normal” telah diterapkan sebagai salah satu kriteria tersebut dan terus menargetkan berbagai atlet perempuan yang dilihat berbeda.

Determinisme Biologis dan Konstruksi Jenis Kelamin

Ide konstruksi gender mungkin sudah bukan suatu hal yang terlalu asing dibicarakan, tetapi sepertinya jarang sekali ada yang menyebutkan ide konstruksi jenis kelamin atau seks.

Menurut Visweswaran dalam tulisannya, Histories of Feminist Ethnography, konstruksi gender sebagai akun sosiologis gender cenderung mengasumsikan bahwa identitas gender inti dihasilkan sebagai efek dari konstruksi sosial, yang mensyaratkan bahwa perempuan tidak hanya melihat diri mereka sebagai seks biologis tetapi sebagai kelompok sosial yang dengannya mereka harus mengenali. Ini mengacu pada cara masyarakat yang cenderung menciptakan peran gender berdasarkan perbedaan dugaan dalam atribut fisik dan fenotip yang ditentukan oleh faktor biologis. Hal ini juga dikenal sebagai esensialisme gender.

Sebagai kritik terhadap esensialisme gender, Judith Butler, seorang tokoh feminis, juga menyatakan bahwa "seks itu sendiri adalah kategori gender,” merujuk pada pemikiran bahwa seks (biologis/alamiah) bukan realitas objektif di luar pengaruh budaya.

Sebuah tulisan oleh Georgiann Davis, Sharon Preves berjudul Intersex and the Social Construction of Sex, juga menunjukkan bahwa unsur seks secara biologis jauh lebih kompleks daripada hanya perempuan atau laki-laki.

Pengelompokan dengan alat kelamin, identifikasi hormon, struktur reproduktif maupun otak atau bahkan kromosom pun juga tidak dapat dijadikan sumber valid untuk binerisme gender. Misalnya pada orang intersex, yaitu seorang yang memiliki seks yang ambigu, ia dapat memiliki kromosom XY yang diasosiasikan dengan laki-laki, tetapi ia juga memiliki penampilan fisik perempuan, temasuk payudara dan vagina.

Bahkan kategori “biologis” berupa perempuan dan laki-laki tidak sepenuhnya benar. Maka, tidak hanya gender dibuat berdasarkan asumsi biologis, tetapi seks itu sendiri juga demikian.

Agaknya, kondisi medis yang dimiliki oleh para atlet perempuan seperti Caster Semenya, Dutee Chand, serta Atlet track and field India, Santhi Soundarajan terus menjadi sumber diskriminasi.

Mereka harus mau melakukan tes karena gendernya dipertanyakan, ditargetkan oleh aturan internasional, dan perlu “membuktikan” bahwa mereka perempuan hanya karena mereka “tidak terlihat seperti perempuan” atau memiliki tubuh yang dianggap “tidak normal.” Ini adalah salah satu bentuk pengekangan dan pengaturan tubuh perempuan yang tentu perlu dilawan.

Pada kasus Semenya, atlet asal Afrika Selatan tersebut bahkan sudah membawa persoalan ini ke pengadilan, tetapi adanya konstruksi jenis kelamin yang mengatasnamakan biologis justru mengagalkan usahanya. Kasus ini bukanlah pertama maupun terakhir Semenya dalam melakukan perlawanan.

Kasus Semenya juga ramai dibicarakan di sosial media dan sempat menjadi hashtag yang hangat tahun lalu setelah kasus pengadilannya dimana hampir semua orang di twitter juga memberi opini akan persoalannya.

Sebagian masyarakat memberi komentar suportif kepada Semenya, dan sebagian pula menunjukkan sifat diskriminatif yang sama dengan IAAF. Konstruksi seks sebagai sumber diskriminasi terhadap perempuan juga menjadi persoalan yang perlu dilawan oleh perempuan yang mengalami dan perlu didukung oleh masyarakat agar perlawanan ini dapat berhasil.

Refleksi Kasus  Hyperandrogenisme Bagi Perempuan

Meskipun studi mengenai keterkaitan tingkat hormon dan kemampuan atletis perempuan masih diperdebatkan, mereka yang dijadikan objek penelitian ini ada di masa kini (dan selalu ada dan akan terus melakukannya).

Atlet-atlet perempuan sudah seringkali perlu menghadapi diskriminasi gender hanya karena mereka perempuan, dan kini bahkan hal tersebut menjadi perdebatan publik. Persoalan ini mengatasnamakan keadilan, tetapi para atlet perempuan ini harus berurusan dengan ketidakadilan karena hidup mereka dibatasi berdasarkan hal-hal yang berada di luar kendali tubuhnya.

Ini juga memunculkan pertanyaan bahwa dalam olahraga, dan lebih luas lagi, apakah sebenarnya yang diartikan dari menjadi seorang “perempuan”? Apakah seorang perempuan harus memiliki tubuh perempuan?

Bila demikian, bagaimana dan siapa yang berhak untuk menentukannya? Kemudian yang terpenting; mengapa perempuan harus melawan pengkotakan gender berdasarkan konstruksi biologis ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini sepertinya perlu untuk dijawab mengingat atas nama perjuangan untuk keadilan, bukan untuk ketidakadilan.


Daftar Pustaka:

Visweswaran, Kamala. “Histories of Feminist Ethnography”. Annu. Rev. Anthropol. 1997. 26:591–621.

Harper, Joanna, et. al. (2018). “Implications of a Third Gender for Elite Sports”.  Current Sports Medicine Reports 17(2):42-44. Diakses pada 4 April 2020 dari:https://ift.tt/2V7ZtyA

Davis, Georgiann dan Preves, Sharon. (2017). “Intersex and the Social Construction of Sex”. Contexts, Vol. 16, No. 1, p. 80. Diakses pada 5 April 2020 dari:

https://ift.tt/2UQCKbv
Diakses pada 4 April 2020 dari: https://ift.tt/2VcGkLU
forced-lower-testosterone-levels-face-800m-ban/

Diakses pada 4 April 2020 dari: https://ift.tt/2yA2dNx

Diakses pada 4 April 2020 dari: https://ift.tt/3bY0iko

Diakses pada 4 April 2020 dari: https://ift.tt/2tD9gko

Diakses pada 4 April 2020 dari: https://ift.tt/39QZn3N

Diakses pada 4 April 2020 dari: https://ift.tt/2wm5CyO

Diakses pada 5 April 2020 dari: https://ift.tt/2JPxtuy

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay dan twitter)

* Adela Dinda, seorang perempuan mahasiswa Antropologi di Universitas Indonesia yang tertarik dengan isu marginalitas dan ketidaksetaraan

from KONDE https://ift.tt/39OTCDO Wanita Sehat

No comments:

Post a Comment

Back to Top