April 16, 2020

Solidaritas dalam Pandemi di Kelompok LGBT

| April 16, 2020 |

Saat ini terdapat lebih dari 640 transgender yang hidup di Jabodetabek yang kehilangan pekerjaan dalam pandemi Corona, ini membuat mereka tak mampu lagi untuk makan dan terancam kehilangan tempat tinggal

*Tika Adriana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Kurang lebih seminggu 2 kali, aktivis Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, and Questioning (LGBTIQ), Hartoyo dari Perkumpulan Suara Kita menawarkan sejumlah barang pre-loved melalui facebook. Beberapakali saya mengikutinya.

Barang-barang pre-loved atau barang pantas pakai ini kebanyakan tas, yang dikumpulkan Perkumpulan Suara Kita dari donasi di berbagai macam kalangan. Setelah dikumpulkan, mereka kemudian menjualnya melalui facebook untuk menghindari pertemuan.

Nia Dinata, merupakan salah satu artis yang mendonasikan sejumlah tasnya untuk dijual disini. Hartoyo dan organisasinya kemudian menjual barang-barang ini, yang kemudian dari hasil jualannya didonasikan untuk kelompok LGBTIQ yang terdampak Covid-19. Donasi yang terkumpul dan distribusinya kemudian dipublikasikan melalui sosial media agar informasinya bisa diakses semua orang

Tidak hanya Hartoyo, Rikky Fajar bersama Sanggar Seroja yang selama ini berjuang untuk kelompok LGBTIQ juga membuka donasi. Mereka membuka donasi dana, dari hasil yang terkumpul kemudian mereka memasak nasi bungkus dan hasil masakan tersebut dibagikan kepada teman-teman LGBTIQ.

Bantuan yang disalurkan ini bentuknya bermacam-macam, ada Sembako, ada juga nasi bungkus dan juga uang. Ini memperlihatkan banyaknya kelompok rentan yang mau makan saja sulit, apalagi dengan harga makanan yang saat ini melambung tinggi.

Pandemi Corona atau Covid-19 ini memang merupakan situasi yang sangat buruk bagi LGBTIQ. Sebelum pandemi, kelompok ini banyak yang tersingkir dari dunia kerja. Pengin kerja kantoran susah, mau kerja di pabrik juga susah, apalagi bagi kelompok waria, ini semua karena identitas gendernya. Umumnya mereka kemudian bekerja mengamen atau bekerja di salon.

Jika dalam situasi negara dalam kondisi normal saja mereka sudah sulit hidup, maka dalam situasi pandemi Corona, hidup mereka pasti lebih buruk.

Kepada Konde.co, Khanza Vinna, aktivis yang fokus pada penanganan krisis bagi komunitas LGBTIQ di Indonesia, menceritakan tentang pengalamannya saat membagikan donasi kepada kawan-kawannya di Depok. Disana ia didiskriminasi karena statusnya sebagai LGBTIQ.

Meski donasi telah dibagikan, tapi pembagian donasi itu sempat ditolak oleh warga karena kelompok LGBTIQ dianggap menjadi pembawa Virus Corona atau Covid-19. Bayangkan saja, berbuat baikpun masih dicurigai. Ini memperlihatkan cara pandang yang sangat stereotyping terhadap LGBTIQ.

Wabah Covid-19 membuat kondisi kelompok minoritas gender dan seksual semakin rentan. Hidup mereka yang selama ini di bawah garis kemiskinan, pendapatannya makin tak menentu dan kian sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena tak sedikit dari mereka yang bekerja di sektor informal.

“Situasinya sangat memprihatinkan karena mayoritas teman-teman ini kan kerjanya di jalan seperti pekerja seks, pengamen, dan penjual jasa lainnya. Nah, ketika ada instruksi sosial distancing, lalu work from home, itu enggak bisa dilakukan oleh teman-teman,” ungkap Khanza kepada Konde.co, Senin (6/4/2020).

Menurut hitungan Khanza, saat ini ada lebih dari 640 transgender hidup di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Kehilangan pekerjaan dalam pandemi ini membuat mereka tak mampu membeli makan dan terancam kehilangan tempat tinggal.

Bukan itu saja, konstruksi sosial heteronormatif pun membuat keberadaan mereka makin terhimpit karena tak bisa mengakses bantuan Sembako akibat identitas gender mereka. Padahal LGBTIQ juga warga negara yang memiliki hak setara dengan masyarakat lainnya.

“Ada beberapa teman yang mulai kesulitan membayar kos-kosan, karena banyak dari mereka tidak tinggal bersama keluarga, dan mereka juga sulit memenuhi kebutuhan pangan. Ada juga teman-teman Orang dengan HIV/ AIDS atau ODHA yang kesulitan mengakses obat karena enggak punya uang untuk bayar transportasi untuk ke penyedia layanan kesehatan,” ujar Khanza.

Khanza dan rekan-rekannya yang tergabung dalam koalisi CRM pun akhirnya berinisiatif untuk menggalang donasi bagi kelompok LGBTIQ hingga sekarang. Tujuannya agar kawan-kawan LGBTIQ bisa bertahan hidup di tengah krisis ini.

Meski kondisi keuangan mereka terhimpit dan sulit, banyak LGBTIQ yang memilih bertahan di tempat tinggalnya sekarang karena takut untuk pulang.

Kondisi yang tak pasti ini membuat kelompok masyarakat sipil seperti LGBTIQ kemudian serentak melakukan solidaritas bersama, saling meringankan beban pada yang lain, walaupun entah hingga kapan solidaritas seperti ini bisa dilakukan mengingat pandemi Corona yang belum ketahuan kapan akan berakhir.

Tak bisa mengakses bantuan dari pemerintah adalah bukti bahwa diskriminasi yang terus terjadi pada LGBTIQ.

Seperti ditulis oleh BBC (https://ift.tt/2QLZRBH), lingkungan yang heteronormatif membuat LGBTIQ terjebak dalam keluarga homofobik. Mereka yang memutuskan untuk pulang, akhirnya sulit menjadi dirinya sendiri.

Jika mereka terbuka dengan keluarga mereka, maka akan ada stigma yang melekat. Hal ini tentu membuat kondisi mental mereka kian terpuruk.

Berdasarkan Catatan Kelam 12 Tahun Persekusi LGBT di Indonesia yang disusun oleh Yayasan Arus Pelangi, tercatat bahwa 88 persen korban tindak pidana adalah kelompok transpuan.

Padahal perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan milik semua warga negara, termasuk LGBTIQ, sehingga semestinya kasus-kasus kekerasan terhadap LGBTIQ bisa berakhir.

Bukan itu saja, pemerintah pun seharusnya menghentikan usaha untuk mengkriminalisasi kelompok LGBTIQ melalui beragam aturan seperti Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU Anti Propaganda Penyimpangan Seksual.

*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

from KONDE https://ift.tt/2RWbWov Wanita Sehat

No comments:

Post a Comment

Back to Top