November 12, 2020

Inveksi HIV Pada Ibu Hamil Naik, Bagaimana Bisa Mencegahnya?

| November 12, 2020 |

 

Miguel Á. Padriñán/Pexels
Mutiara Riani, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Dalam dua puluh tahun terakhir risiko penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara vertikal dari ibu ke bayi telah meningkatkan populasi anak dengan infeksi virus ini di masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia.

Penularan ini bisa terjadi sejak dalam kandungan hingga masa menyusui yang menjadi metode penularan utama infeksi HIV pada anak di bawah 15 tahun.

Data menunjukkan jumlah anak Indonesia di bawah usia 15 tahun yang hidup dengan infeksi HIV meningkat dari 500 anak pada tahun 2000 menjadi lebih dari 3.000 kasus pada 2016.

Angka kejadian perempuan hamil dengan infeksi HIV di Indonesia dalam kurun waktu tersebut juga meningkat. Sebuah riset dengan data sekunder 11.693 ibu hamil dalam rentang 2003-2010 di delapan kota di Indonesia menunjukkan angka kejadian perempuan hamil dengan infeksi virus ini mencapai 0,36% pada 2003-2006. Angka kejadian serupa meningkat menjadi 0,49% pada 2016.

Sebuah skrining HIV massal yang melibatkan sekitar 43.000 ibu hamil pada 2012 di Indonesia menunjukkan angka positif HIV mencapai 1.329 kasus (3,04%).

Guna mencegah infeksi virus HIV yang berdampak pada anak, maka pemerintah, masyarakat, kita dan pasangan perlu mempersiapkan kehamilan, pemeriksaan, dan tata laksana kehamilan yang mampu mencegah risiko penularan vertikal.

Skrining sebelum kehamilan

Sebuah riset di Inggris menunjukkan 41% perempuan dengan infeksi HIV ingin memiliki anak dan 11% responden menyatakan tidak ingin menunda kehamilan.

Penelitian di Semarang terbitan tahun lalu menunjukkan lima responden perempuan, sudah menikah dan terinfeksi HIV, menyatakan anak merupakan pelengkap keluarga dan mereka sangat ingin memiliki keturunan bersama pasangan.

Para ibu bisa mengurangi risiko penularan HIV ke anak dan pasangan dengan cara merencanakan kehamilan, minum obat antiretroviral (ARV) untuk menekan infeksi dan replikasi virus HIV hingga tidak terdeteksi, serta menggunakan kontrasepsi yang aman ketika tidak merencanakan kehamilan.

Perempuan yang merencanakan kehamilan, terutama pada kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV, harus menjalani skrining untuk memastikan status infeksi.

Mereka yang termasuk di dalam kelompok risiko tinggi adalah ibu hamil di daerah dengan kasus tinggi seperti Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua yang menempati 5 besar provinsi dengan kasus HIV terbanyak. Kelompok risiko tinggi lainnya adalah individu dengan perilaku berisiko seperti pengguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), seks bebas dengan banyak pasangan, dan individu dengan riwayat HIV sebelumnya.

Jika terinfeksi, mereka harus minum obat ARV, guna menekan jumlah virus aktif di dalam darah hingga tidak terdeteksi, untuk menurunkan risiko penularan vertikal hingga 1%. Pasangan laki-laki sebaiknya menggunakan kondom saat berhubungan seks dan pemeriksaan berkala setiap tahun.

Studi terbaru menunjukkan tindakan pencucian sperma, pada teknologi reproduksi berbantu, dari suami yang terinfeksi HIV dapat menurunkan risiko transmisi vertikal. Teknologi ini tersedia di Indonesia, khususnya di RS besar yang menyediakan fasilitas reproduksi berbantu, baik inseminasi ataupun bayi tabung.

Tata laksana HIV dalam kehamilan

Seluruh ibu hamil dengan infeksi HIV harus mendapat ARV tanpa melihat viral load (jumlah virus dalam darah).

Beberapa riset menyatakan risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan. Jenis persalinan dan viral load juga akan mempengaruhi tinggi rendahnya risiko transmisi.

Dalam sebuah uji klinis, viral load tidak terdeteksi dan operasi sesar sebelum adanya tanda persalinan atau pecahnya selaput ketuban terbukti efektif menurunkan angka transmisi. Persalinan normal akan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya penularan dari ibu ke anak.

Meski demikian, masih terdapat 13% populasi di dunia dengan viral load yang masih terdeteksi. Namun data ini belum ada untuk populasi di Indonesia.

Banyak faktor yang dapat berkontribusi terhadap risiko penularan vertikal. Rendahnya status sosial ekonomi dan pengetahuan pasien, durasi penggunaan ARV selama hamil, terlambat memeriksakan kehamilan, dan sikap sebagian besar masyarakat yang cenderung menyembunyikan kasus HIV merupakan faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak.

Setelah lahir, seluruh bayi yang lahir dari ibu dengan HIV wajib mendapatkan ARV sebagai terapi pencegahan pada usia 6-12 jam setelah lahir.

ARV selama 6 minggu terbukti efektif untuk pencegahan pada bayi yang lahir dari ibu yang mendapat ARV dan viral load tidak terdeteksi.

Setelah persalinan dan kontrasepsi

Keputusan menyusui bayi harus mempertimbangkan risiko penularan dan manfaat proteksi terhadap kematian bayi akibat malnutrisi, diare, dan pneumonia.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2013 menyatakan infeksi HIV adalah salah satu kondisi medis yang dapat membuat ibu tidak menyusui.

Paska persalinan, pengobatan ARV dilanjutkan dan perlu mencegah penularan pada pasangan. Pencegahan kehamilan dapat dilakukan melalui program keluarga berencana (KB) yang menyediakan metode yang efektif, efek samping minimal, nyaman dan dapat melindungi terhadap transmisi HIV atau infeksi menular seksual (IMS) lain, serta berinteraksi minimal dengan ARV.

Kondom menjadi metode paling efektif yang mampu memberikan perlindungan terhadap risiko transmisi.

Penggunaan alat kontrasepsi sangat penting untuk mengatur dan menjarangkan kehamilan serta mencegah penularan dari ibu ke bayi.

Penularan dari ibu ke anak

Human Immunodeficiency Virus (HIV) menyerang kekebalan tubuh manusia. Virus ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah, penggunaan jarum suntik bersama, transplantasi organ, dan penularan dari ibu ke janin.

Badan PBB untuk Urusan HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan ada 1,4 juta perempuan hamil dengan infeksi HIV di seluruh dunia pada akhir 2016.

Di Asia, diperkirakan sekitar 210.000 anak hidup dengan HIV pada 2012. Namun dengan semakin gencarnya promosi dan upaya kesehatan yang dilakukan untuk menurunkan penularan dari ibu ke anak, angka ini menurun hingga 30%.

Secara umum, laporan (Kementerian Kesehatan) Indonesia menyatakan pada 2017 ada sekitar 280.000 orang terinfeksi HIV. Kelompok usia produktif mendominasi angka kasus, dengan jumlah tertinggi 16,9% kasus di Jawa Timur dan 13,7% di DKI Jakarta.

Infeksi ini berisiko menyebabkan penularan vertikal dari ibu ke anak (Mother to Child Transmission/MTCT) sebesar 20-50%.

Dalam kasus ibu hamil terinfeksi HIV, banyak faktor yang dapat mempengaruhi penularan virus, seperti lama dan pola menyusui. Semakin lama durasi ibu menyusui bayi, maka paparan terhadap virus yang ada di ASI akan semakin meningkat. Risiko penularan naik jika menyusuinya dicampur antara ASI dan susu formula. WHO menyatakan pemberian susu formula bisa mengurangi risiko penularan pada bayi. Jika itu tidak memungkinkan, maka bayi bisa diberi ASI eksklusif 6 bulan dan setelah itu diganti dengan susu formula dan makanan pendamping ASI.

Faktor lainnya adalah bayi lahir kurang bulan (prematur), penggunaan obat anti retro viral (ARV), jumlah virus dalam darah ibu dan cara persalinan.

Bayi prematur lebih rentan terinfeksi karena belum sempurnanya perkembangan organ dan sistem imunitas. Bayi yang diberikan ASI, terutama dari ibu yang tidak mendapatkan ARV, akan memiliki risiko tertular 5-20%.

Upaya promotif

Upaya mencegah penularan HIV dari ibu ke anak selama kehamilan, persalinan, dan menyusui di Indonesia sudah dikembangkan sejak 2004.

Namun hingga akhir 2011 pelayanan ini baru menjangkau sekitar 7% dari perkiraan populasi. Sejak 2013, layanan pencegahan ini diintegrasikan ke dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), KB dan konseling remaja untuk memperluas cakupan. Program ini mulai dari fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas hingga rumah sakit rujukan.

Kita perlu bekerja sama lintas disiplin untuk memberikan layanan kesehatan dan tata laksana yang komprehensif pada ibu agar bisa mencegah penularan HIV ke anak.The Conversation

Mutiara Riani, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



from KONDE - MEDIA FOR WOMEN AND MINORITY https://ift.tt/36rhbTm Wanita Sehat

No comments:

Post a Comment

Back to Top