Lingkungan pendidikan ternyata bukan ruang yang terbebas dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual di kampus misalnya justru banyak terjadi karena relasi kuasa dari dosen sebagai pembimbing skripsi atau pembimbing penelitian mahasiswi. Sedangkan di pesantren, tindakannya justru berupa memanipulasi santriwati sehingga terjadi perkawinan antara korban dengan pelaku.
Tim Konde.co
Kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang biasanya diadukan ini merupakan puncak gunung es karena umumnya cenderung tidak diadukan atau dilaporkan karena korban merasa malu. Penyebab lainnya karena tidak tersedianya mekanisme pengaduan, penanganan dan pemulihan korban.
Data pengaduan yang diterima Komnas Perempuan menunjukkan, dari tahun 2015 s/d Agustus 2020 Komnas Perempuan menerima pengaduan terdapat 3 kasus pada tahun 2015. Lalu 10 kasus di tahun 2016, 3 kasus di tahun 2017, 10 kasus di tahun 2018, dan pada tahun 2019 meningkat menjadi 15 kasus dan 10 kasus sampai Agustus 2020.
Dengan adanya pelaporan ini, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers pada akhir Oktober 2020 melalui daring menyatakan, maka sistem penyelenggaraan pendidikan nasional harus serius mencegah dan menangani kekerasan seksual sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, karena di lingkungan pendidikan kekerasan sejatinya terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini sampai dengan pendidikan tinggi.
"Dari 51 kasus yang diadukan, tampak bahwa universitas menempati urutan pertama yakni 27%, pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam menempati urutan kedua atau 19%, 15% terjadi di tingkat SMU/SMK, 7% terjadi di tingkat SMP, dan 3% masing-masing di TK, SD, SLB. Sejumlah institusi ini juga berbasis agama, dalam hal ini Islam dan Kristen,” kata Siti Aminah Tardi
Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan terbanyak yang diadukan, yaitu mencapai 45 kasus (88%), yang terdiri dari perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual.
Ada juga pengaduan tentang kekerasan fisik, kekerasan psikis dan diskriminasi sebanyak 5 kasus (10%), berupa dikeluarkan dari sekolah akibat kekerasan seksual yang menimpa siswi atau akibat aktivitas seksual.
“Kekerasan seksual di universitas terkait-paut dengan relasi kuasa di antaranya relasi dosen sebagai pembimbing skripsi atau pembimbing penelitian. Sedangkan di lingkungan pesantren, tindakannya berupa memanipulasi santriwati sehingga terjadi perkawinan antara korban dengan pelaku; atau dengan kata lain terjadi pemaksaan perkawinan,” kata Siti Aminah Tardi
Ada pula yang dimanipulasi dengan alasan memindahkan ilmu, ancaman akan terkena azab atau tidak akan lulus dan hapalan akan hilang. Di tingkat SMU/SMK masih terdapat korban kekerasan seksual dikeluarkan dari sekolah atas perkosaan yang menimpanya.
Pelaku kekerasan terbanyak adalah guru /ustadz (43% atau 22 kasus), kepala sekolah (15% atau 8 kasus, dosen (10 kasus atau 19%), Peserta didik lain (11 % atau 6 kasus), pelatih 4% atau 2 kasus, dan pihak lain (5% atau 3 kasus).
Para korban yang umumnya peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya (powerless) karena relasi kuasa korban dengan guru/ustadz, dosen, atau kepala sekolah yang dipandang memiliki kuasa otoritas keilmuan dan juga termasuk tokoh masyarakat.
Hambatan Penanganan: Menjaga Nama Baik Kampus
Hambatan pencegahan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual adalah impunitas terhadap pelaku di lingkungan pendidikan sendiri yang lebih memberikan perlindungan terhadap pelaku demi menjaga nama baik institusi. Jika korban menempuh penyelesaian pidana, terjadi penundaan berlarut.
Alimatul Qibtiyah, komisioner Komnas Perempuan yang lain mencontohkan, misalnya saja dalam kasus kekerasan seksual di pesantren Jombang yang menimbulkan kelelahan baik bagi korban maupun pendamping, dan menyebabkan korban-korban lain memilih bungkam atas kekerasan seksual yang menimpanya. Selain itu, karena kekosongan hukum karena lembaga pendidikan belum memiliki Prosedur Standar Operasional untuk Pencegahan, Penanganan dan Pemulihan Korban.
“Komnas Perempuan berpendapat kondisi tersebut di atas bertentangan dengan tujuan pembentukan negara Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan sebagai ruang belajar dan ruang aman bagi peserta didik. Dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip, yakni diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”
Dalam konteks pendidikan untuk perempuan, UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) secara khusus mewajibkan negara untuk mengambil semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang sama dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, dan terutama untuk menjamin atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Di antaranya melalui penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki dan perempuan di semua tingkat dan semua bentuk Pendidikan, mengurangi tingkat putus sekolah bagi perempuan dan menyelenggarakan program-program bagi remaja putri dan perempuan yang meninggalkan sekolah sebelum tamat. Lalu akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu memastikan kesehatan dan kehidupan keluarga yang baik, termasuk informasi serta nasehat bagi keluarga berencana. Untuk pencapaian kesetaraan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan, kekerasan seksual yang dampaknya berbeda antara laki-laki dan perempuan berpotensi menyebabkan perempuan terhenti pendidikannya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Komnas Perempuan merekomendasika kebijakan internal di seluruh jenjang Pendidikan untuk memastikan lingkungan pendidikan sebagai ruang aman atau bebas dari kekerasan dengan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah;
Lalu kebijakan yang berpihak kepada korban kekerasan seksual atau perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan untuk tetap dapat menyelesaikan pendidikannya sebagai upaya mencegah anak perempuan putus sekolah;
Memberikan respon cepat terkait dengan penanganan kekerasan seksual yang dialami siswi/santriwati untuk membangun kepercayaan terhadap hukum dalam pemenuhan hak atas keadilan untuk korban;
Serta menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya untuk mencegah keberulangan dan mengintegrasikan indikator bebas dari kekerasan dalam menetapkan akreditasi lembaga pendidikan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
from KONDE - MEDIA FOR WOMEN AND MINORITY https://ift.tt/3f1oHbH Wanita Sehat
No comments:
Post a Comment