Banyaknya perkawinan anak masih menjadi problem serius di Indonesia. Anak perempuan tercerabut dari lingkungannya. Hamil di usia anak juga menyebabkan resiko kematian yang tinggi, anak yang dilahirkan beresiko memiliki berat badan rendah, pendek, dan intelejen minim
*Donna Swita- www.Konde.co
Sudah lebih dari 2 minggu, saya melakukan Work From Home atau kerja dari rumah akibat wabah Corona.
Dampak dari Corona ini membuat saya jadi lebih sering membaca media sosial, karena banyak cara yang dilakukan oleh kawan-kawan saya untuk mengganti postingan tentang Corona yang membuat depresi dengan hal-hal yang lebih positif untuk menghentikan ketakutan pada virus ini.
Tiba-tiba saya tergelitik ketika melihat beberapa teman yang menyanyi lagu “Aisyah (istri Rasulullah Nabi Muhammad)” dan mempublikasikannya di media sosial. Mereka menyanyi bareng suami, ada juga yang menyanyi sendiri lagu Aisyah ini.
Hal pertama yang terbersit dalam pikiran saya adalah, “kenapa Aisyah?, kenapa bukan Khadijah, misalnya?”.
Maka kemudian saya mencoba berselancar di internet terkait dengan cerita riwayat istri Rasulullah Nabi Muhammad SAW.
Namun setelah saya membacanya alangkah terkejutnya saya mendapatkan informasi bahwa Aisyah merupakan anak perempuan dari sahabat Rasulullah Nabi Muhammad yang ketika dilamar masih berusia 6 tahun. Dan dia menjalankan perannya ketika berusia 9 tahun atau bila sekarang mungkin ia merupakan anak perempuan yang masih di bangku sekolah dasar kelas 3 atau 4.
Pikiran saya terus menolak dan berusaha memikirkan bahwa mungkin ada istri lain yang juga seusianya atau diatas usianya sedikit. Tetap saja setelah membaca seluruhnya teks yang saya cari, saya hanya melihat Aisyahlah yang umurnya dibawah 18 tahun bahkan dibawah usia 12 tahun, atau anak usia tamat sekolah dasar pada umumnya ketika itu.
Mengetahui ini pikiran sayapun berkecamuk dan merasa sangat sedih karena teringat akan banyaknya kasus pernikahan anak, salah satunya di Indonesia.
Bila merujuk pada ranking kasus perkawinan anak di Indonesia di negara ASEAN, maka Indonesia menjadi negara dengan ranking ke-2 yang memiliki banyak kasus perkawinan anak .
Data yang pernah dipublikasikan oleh Koalisi Perempuan Indonesia di tahun 2017 menunjukkan jumlah pernikahan anak di Kalimantan Selatan sebesar 21.53%, Jawa Timur 18,44%, dan Jawa Barat 17,28%. Sedangkan pada 2018 jumlah pernikahan di Kalimantan Selatan menjadi 22,77%, Jawa Barat 20,93%, dan Jawa Timur 20,73%. Jumlah ini sangat memprihatinkan karena perkawinan anak pada akhirnya akan merenggut hak-hak anak-anak.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik atau BPS di tahun 2018 terjadi peningkatan jumlah perkawinan anak di beberapa provinsi.
Meskipun ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengatasi ini, sebut saja misalnya di ASEAN telah membentuk sebuah badan khusus yang bernama Commisison on Promotion and Protection of The Rights on Women and Children (ACWC) dan memiliki representasinya di tiap negara ASEAN, atau bagaimana pemerintah Indonesia serius dalam upaya menghapuskan perkawinan anak dengan menaikkan angka usia perkawinan yang sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun.
Di Indonesia sendiri ada beberapa organisasi seperti Kalyanamitra, Kapal Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH APIK, OXFAM, dll yang bersama dengan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya selama ini berjuang dan fokus untuk melakukan penghapusan terhadap kasus-kasus perkawinan anak.
Namun, di situasi saat ini dimana fundamentalisme agama semakin meningkat termasuk praktek-praktek diskriminatif dari ritual dan tradisi terhadap perempuan atau pandangan misogini yang membenci perempuan dan anak perempuan, dimana perempuan dianggap sebagai sumber aib atau dosa, sehingga tidak memiliki kuasa atau otonom terhadap tubuhnya dan juga pilihan-pilihannya.
Sistem yang diciptakan juga memposisikan status, identitas dan seksualitas perempuan sebagai bagian dari harta yang dimiliki(laki-laki).
Bila membaca pada sejarah peradaban Islam, maka Islam harusnya hadir di dalam peradaban untuk mengubah tradisi yang menistakan perempuan. Sayangnya hal tersebut tetap saja terus terjadi hingga masa kini dan dianggap sebagai bagian mengembalikan ajaran Rasulullah seperti semula. Padahal secara sosiologis kondisinya sudah jauh berbeda.
Sigmund Freud mengatakan bahwa alam bawah sadar setiap orang turut berperan dalam memandang dan menafsirkan realitas. Isi alam bawah sadar manusia yang paling dominan adalah dorongan dan ilusi-ilusi libido.
Freud juga membagi struktur kepribadian seseorang menjadi 2 bagian yaitu super ego, id dan ego (Freud, 1923). Super ego biasa dikaitkan dengan etika sosial untuk menganjurkan seseorang berlaku baik dan diterima oleh masyarakat, sementara id mengajarkan tentang kesenangan dimana perwujudan puncak dari id merupakan dorongan seksual. Super ego dan id selalu saling bertolak belakang dan dapat ditengahi dengan ego sebagai pengendali. Semakin matang pribadinya maka akan semakin mampu egonya memberikan proporsi yang seimbang pada super ego dan id.
Dalam kondisi kita sehari-hari saat ini eksistensi perempuan menjadi hilang bila dilekatkan dengan laki-laki. Bila dia seorang anak perempuan, maka anak dilekatkan kepada ayahnya, bila dia seorang istri, maka akan dilekatkan pada suaminya.
Kembali pada persoalan perkawinan anak yang dilakukan, perkawinan yang terjadi bagi perempuan di usia anak tentulah belum menghasilkan pikiran yang matang dan atas keputusannya sendiri. Sehingga potensi untuk adanya perceraian juga semakin tinggi. Hal lain, perkawinan anak akan mengakibatkan anak-anak tercerabut dari lingkungannya, lingkungan sekolah dan tempat tinggal.
Jika hamil dan melahirkan dalam usia anak, kondisi ini tidak hanya menyebabkan angka kematian ibu yang tinggi, tetapi juga anak yang dilahirkan beresiko memiliki berat badan rendah, pendek, dan intelejen minim.
Perkawinan anak juga menyebabkan tingginya angka perceraian dan angka drop out/ putus sekolah. Anak perempuan yang menikah atau hamil biasanya akan dikeluarkan dari sekolah dan dikucilkan oleh lingkungannya. Perkawinan anak akan menghambat pencapaian 5 tujuan dalam target Sustanability Development Goals (SDGs), yaitu : penanggulangan kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender, menurunkan angka kematian anak, dan meningkatkan kesehatan ibu.
Masa depan anak-anak perempuan kemudian dipertaruhan disini. Setelah harus menikah dalam usia belia, ia kemudian harus menangung beban reproduksi pada kesehatannya. Setelah itu ia harus kehilangan kesempatan dalam pendidikan dan untuk memperbaiki hidupnya. Anak-anak perempuan seolah tak punya cita-cita lagi jika dihadapkan pada situasi ini.
Atau bila anak tersebut memiliki relasi kuasa yang sangat timpang dari pasangannya atau akibat persyaratan tertentu antara orang tua (ayah) dengan lelaki yang menikahinya, maka anak tersebut tentu tidak dapat mengeluarkan pendapat.
Pada situasi tertentu ketika mendapatkan kekerasan di dalam rumah tanggapun maka perempuan tersebut akan rentan mendapatkan kekerasan berkali-kali dan terungkap.
Saya kemudian teringat pada kasus Syekh Puji yang menikahi anak dibawah umur. Banyak pendapat kontra ketika hal itu terjadi, namun beberapa masyarakat masih mengganggap itu merupakan sesuatu yang wajar bagi perempuan, karena bagi perempuan di sejumlah tempat di Indonesia, menikah muda masih dianggap sebagai sebuah kewajaran.
Padahal kasus-kasus perkawinan anak harusnya menjadi fokus kita bersama untuk menolaknya, karena kita harus berpikir tentang masa depan anak-anak perempuan Indonesia.
Referensi:
1. https://ift.tt/2xYYwAW
2. https://ift.tt/2JYulw9
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Donna Swita, aktif di Organisasi Gerakan Sosial International Women Empowerment (IWE) Indonesia
from KONDE https://ift.tt/2JQbtiT Wanita Sehat
No comments:
Post a Comment